Kekacauan politik diprediksi terjadi jika Mahkamah Konstitusi memutusan sistem pemilu menjadi proporsional tertutup. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, menilai MK tidak berhak memutuskan sistem pemilu.
"MK tidak berhak memutuskan satu varian proporsional tertentu itu lebih konstitusional ketimbang yang lain," kata Burhanuddin di Primetime News Metro TV, Senin (5/6/2023).
Menurut Burhan, sistem proporsional terbuka, tertutup, dan campuran pada dasarnya bersifat konstitusional. MK tidak berwenang menentukan sistem pemilu yang satu lebih konstitusional daripada yang lain. Putusan sistem pemilu merupakan wilayah partai politik dan pembentuk undang-undang.
"Itu wilayah politik, wilayah pembentuk undang-undang," ujarnya.
Ia mengatakan debat sistem pemilu antara proporsional terbuka dan proporsional tertutup masalah kalangan elite politik. Jika ditanya ke publik, sistem pemilu proporsional terbuka mutlak dipilih. Hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan 80,6% responden menginginkan sistem pemilu terbuka.
"Isu preferensi sistem pemilu itu pada dasarnya sudah selesai di mata publik. Jadi mayoritas mutlak menginginkan sistem proporsional terbuka yang memberi kesempatan pemilih menetukan caleg yang mewakili mereka," jelasnya.
Semua segmen demografi mulai dari gender, wilayah, usia, sampai agama mayoritas pro proporsional terbuka. Konstituen PDIP bahkan pro proporsional terbuka. Elite PDIP yang mempermasalahkan sistem pemilu terbuka hanya peduli kepentingan partai bukan kepentingan basis pemilihnya.
"Kalau kemudian elite PDI Perjuangan mempersoalkan sistem ini itu pada dasarnya kepentingan elite bukan kepentingan basis massanya," jelasnya.