NEWSTICKER

DPR Buka Peluang Bentuk Pansus Telisik Transaksi Janggal Rp349 T

DPR Buka Peluang Bentuk Pansus Telisik Transaksi Janggal Rp349 T

N/A • 29 March 2023 08:16

Komisi III DPR menjadwalkan rapat dengar pendapat (RDP) bersama Menko Polhukam Mahfud MD dan PPATK untuk membahas isu transaksi janggal Rp349 T, Rabu (29/3/2023). Bila rapat tersebut tak kunjung membuat isu ini terang benderang, DPR siap menggunakan haknya untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus). 

"Bilamana sore nanti rapat dengan Pak Menko (Menko Polhukam Mahfud MD) dan PPATK tidak menemukan titik terang, maka pansus lah yang akan membuat suatu keterbukaan. Agar publik tidak menanyakan apa yang menjadi isu tersebut," ujar Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni dalam program Metro Pagi Primetime, Rabu (29/3/2023). 

Sahroni juga menegaskan, apa yang dilakukan Komisi III DPR adalah meminta pertanggungjawab atas pernyataan-pernyataan para pihak, yaitu PPATK, Menko Polhukam Mahfud MD dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Menurut Sahroni, DPR berhak mengusut isu transaksi janggal Rp349 triliun ini karena telah menimbulkan keresahan di masyarakat. 

Tersebarnya isu transaksi janggal Rp349 triliun juga dinilai DPR tidak wajar. Sebab, menurut Sahroni, data yang bersifat rahasia tidak boleh diungkap ke publik apapun alasannya. 

Ia juga menyayangkan langkah PPATK membuka informasi tersebut pertama kali ke Mahfud MD selaku Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU). Menurutnya, lebih baik informasi tersebut disampaikan terlebih dahulu ke pimpinan negara, Presiden Joko Widodo. 

"Layaknya, pak Ivan (Ketua PPATK) melaporkan itu kepada pimpinan tertinggi yaitu bapak Presiden Jokowi. Agar pak Presiden memberikan arahan. Supaya ini tidak liar," tegas Ahmad Sahroni. 

Sementara itu, mantan Kepala PPATK Yunus Husein mengungkap, aturan kerahasiaan data telah diatur dalam Pasal 11 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Menurut Yunus, suatu informasi bisa dibuka ke publik jika, pertama, dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas. 

"Kedua, kalau yang disampaikan itu hanya statistik saja. Gelondongan, tidak menyebut orang. Itu masih okay karena tidak ada privasi yang dilanggar," ujar Kepala PPATK Yunus Husein. 

Selanjutnya, informasi bisa dibuka jika sudah masuk ke proses peradilan. Terakhir, jika sudah ada instansi lain yang terlebih dahulu membuka infomasi sehingga PPATK wajib menjawab. 

Menurut Yunus, isu ini menjadi liar karena mencantumkan dua hal sensitif, yaitu jumlah yang fantastis serta institusi Dirjen Pajak dan Bea Cukai. 
(Sofia Zakiah)